Bahaya Pertambangan Sebagai Dalang Kerusakan Tanah

Fasilitator saat diskusi di Caffee Kampoeng Benteng Ornage, pada Minggu (10/12/2023). Foto: Hasan Azan/ LPM Aspirasi.



LPM Aspirasi--Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (HIMAITA), Fakultas Pertanian, Universitas Khairun (Unkhair)  Ternate mengadakan diskusi publik peringati Hari Tanah Sedunia pada Minggu (10/12/2023) di Caffee Kampoeng Benteng Orange, Kota Ternate.

Mereka mengusung tema “Tanah bukan hanya untuk inventasi pertambangan” untuk merespon dampak kerusakan tanah oleh industri pertambangan, yang makin merajalela di Maluku Utara. 

Dalam diskusi itu dihadiri Idris Abd Rachman, akademisi Unkhair, Julfikar Sangaji, praktisi lingkungan, dan Risdian Kayang  mewakili BEM Unkhair.

Menurut Risdian, tanah yang dikapitalisasi lewat regulasi sebenarnya hanya implikasi lain dari borjuasi dan negara itu sendiri. 

“Untuk menyokong kepentingan pemodal dan orang-orang yang berkuasa,” kata Risdian. 

Ia bilang, misalnya undang-undang minerba pasal 116, ketika tambang itu datang, dan masyarakat yang merasa dirugikan terus melakukan demonstrasi, maka mereka akan didenda dan dimasukan ke dalam penjara.

“Jika tambang hadir, tidak ada yang lebih baik dari daya rusak yang dihasilkan. Hari ini di Maluku Utara eskalasi eskpolitasi atas alam dalam satu dekade terakhir, mengalami peningkatan yang cukup signifikan,” terang Julfikar Sangaji.

Kata Julfikar, eskalasi peningkatan terjadi di industri nikel paska pemimpin dunia menyepakati transisi energi. Padahal,  bahan bakar fosil dapat menyumbang emisi dan mempengaruhi keutuhan bumi karna menipisnya lapisan ozon.

Julfikar membeberkan luas daratan Maluku Utara hanya 31. 982 km2 namun terdapat 146 izin usaha pertambangan.

“Ada 110 IUP khusus mineral dan logam, sementara untuk nikel dari hasil verifikasi terakhir ada 53 izin,” ungkapnya.

Pegiat lingkungan itu berujar, data yang ada menunjukan rata-rata jumlah pertumbuhan ekonomi itu 20%, namun hal itu justru berbanding terbalik dengan jumlah kemiskinan yang ada. Artinya distribusi kekayaan tidak mengalir kebawah, melainkan naik keatas, dan ini manjadi tanggung jawab kita bersama.

“Kita perlu mengingatkan ke pemerintah bahwa sesungguhnya ekonomi industri ekstraktif yang menjadi ambisi negara dan pemerintah tidak dapat mengeluarkan kita dari jerat kemiskinan,” Tegasnya.

Senada dengan itu, Idris Abd Rachman mengatakan tambang telah ada di mana-mana. Hal ini menandakan manusia cukup rakus dalam mengelola lingkungan. 

“Rakus dan serakah karena apapun nilai ekonomi yang kita dapat hari ini, itu tidak akan sebanding dengan kerugian ekologi yang akan terjadi,” ungkapnya.

Idris bilang, pembentukan satu lapisan tanah membutuhkan waktu lebih dari 100 tahun.  Satu tanah atau satu kawasan  yang memiliki logam berat atau nikel yang dialih fungsikan menjadi kawasan tambang itu, terbentuk sekira berjuta-juta tahun yang lalu.

“Kita perlu menyadari hal ini, sebab mengancam keberlangsungan hidup manusia, apalagi masyarakat Maluku Utara rata-rata mata pencahariannya berkebun dan melaut. Kita perlu ingat bahwa tanah bukan warisan dari nenek moyang untuk kita, tapi untuk anak cucu kita mendatang,” tandasnya.

Kata Idris, perkebunan kelapa sawit yang mengubah hutan dari multi spesies ke mono spesies juga dapat memberi kerusakan ekosistem hutan, apalagi pertambangan.

“Kelapa sawit saja memiliki daya rusak ekosistem hutan, apalagi tambang, sehingga pemerintah perlu memikirkan persoalan kerusakan lingkungan, apalagi persoalan tanah ini,” tutupnya.


Reporter Magang: Hasan Azan

Editor: Susi H Bangsa

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama