LPM Aspirasi -- PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) sudah lima tahun beroperasi di Halmahera Tengah, Maluku Utara. Ekspansi kawasan yang dilakukan perusahaan ini telah mengubah kondisi desa-desa dan kawasan di sekitarnya, termasuk kualitas air sungai dan air laut.
Terbaru, Sungai Sagea dan sumber mata air Bokimaruru di Desa Sagea ikut tercemar akibat material tanah dari kerukan tambang pada akhir Juli lalu.
Sungai tempat wisata di Goa Bokimoruru yang terkenal jernih sekarang berwarna kecoklatan dan berlumpur. Padahal sering digunakan warga untuk kebutuhan sehari-hari.
Kini tidak bisa lagi digunakan warga sebab sepekan terakhir warna air belum berubah. Warga tak pernah melihat Sungai Sagea seperti ini sebelumnya. Walau saat hujan deras, air keruh tetapi tidak seperti sekarang, berlumpur.
Adlun Fikri, Juru Bicara Koalisi Save Sagea mengatakan, sejumlah sungai di desa lingkar tambang bahkan tertimbun hingga tidak lagi mengalir ke laut.
“Perayaan hari jadi IWIP kelima secara mewah dan meriah ini dilakukan di atas penderitaan masyarakat yang tinggal di sekitar IWIP. Selama lima tahun kami terpaksa hidup di tengah kerusakan lingkungan yang parah, air, sungai dan udara yang tercemar,” tutur Adlun Fiqri, melalui rilis pada Rabu, 30 Agustus 2023.
Adlun bilang, sungai-sungai besar di Teluk Weda seperti Sungai Kobe dan Sungai Sagea kini tercemar akibat dari operasi sejumlah perusahaan pertambangan nikel, yang semuanya terintegrasi dengan IWIP.
Bagi Adlun, Kampung Sagea bukan sekadar tempat tinggal, namun bagian dari identitas karena di sana para leluhurnya hidup dan tinggal dari generasi ke generasi.
“Yang hidup tinggal di sana dan yang meninggal pun dikubur di Sagea,” ungkapnya.
Adlun mengaku bersyukur lahir dan besar di Sagea yang sungai dan mata air mengalir sepanjang tahun. Tanahnya subur dan menumbuhkan beragam tanaman endemik. Telaga dan lautnya menyediakan protein kehidupan.
Telaga Sagea sangat lekat dengan kehidupan perempuan. Para perempuan biasanya berbondong-bondong mengambil kerang dan memancing ikan di telaga Sagea jika terjadi musim ombak di laut.
“Dari dulu lagi torang (kami) biasa rame–rame ambil bia (kerang) di talaga. Jadi so turun temurun,” ucap Fifa, warga Sagea.
Pentingnya Instrumen Evaluasi Pengelolaan Lingkungan
Pius Ginting, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) menyatakan daya tampung dan daya dukung Sungai Sagea dan sungai-sungai lain di lingkar kawasan industri PT IWIP telah terlampaui.
Pemerintah dan perusahaan kendaraan listrik sebagai calon pembeli, menurut dia, perlu mengaudit tata kelola aspek sosial serta lingkungan yang sejauh ini dijalankan oleh PT IWIP.
"Salah satu instrumen yang dapat digunakan ialah kriteria Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA) yang telah diluncurkan pada Juni 2018 lalu,” terangnya.
Pius bilang, kriteria IRMA dapat melengkapi produk hukum nasional dalam mengawasi kualitas air sungai-sungai di sekitar kawasan industri PT IWIP.
Pengembangan kawasan industri nikel di Halmahera Tengah juga harus sejalan dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang dirumuskan oleh pemerintah daerah. Persoalannya sekarang sejauh mana kajian ini telah dipertimbangkan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan RPJMD mereka.
“Jika sudah dipertimbangkan, apakah KLHS mereka telah mempertimbangkan daya tampung dan daya dukung lingkungan perairan yang turun akibat adanya kawasan industri nikel? Perlu ada evaluasi instrumen pengelolaan lingkungan,” tandasnya.
Sementara Anggi Putra, Manager Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Watch Indonesia (FWI) bilang perbedaan antara Halmahera dan pulau-pulau kecil sekitarnya dengan pulau-pulau besar adalah karena memiliki karakteristik berupa das yang sempit dan pendek.
“Pendekatan pemanfaatannya perlu kehati-hatian dan tidak bisa digeneralisasi. Sayangnya, izin tambang nikel seluas 201 ribu hektar, telah diberikan kepada 43 perusahaan di sana dan justru membebani Halmahera dan pulau-pulau kecil sekitarnya,” ujarnya.
Konsesi sebesar 180.587 hektar justru berada di Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Kondisi ini berdampak pada memburuknya situasi di Halmahera dan pulau-pulau kecil sekitarnya dengan total kerusakan hutan di dalam konsesi pertambangan nikel dari tahun 2017 hingga tahun 2021 sebesar 7.565 hektare.
Dia menilai kerusakan hutan akan semakin parah hingga mencapai 157 ribu hektare kedepannya dari ulah pertambangan nikel ini.
“Tumpang tindih perizinan pertambangan nikel dengan konsesi HPH, HTI, dan Kebun menunjukan kinerja buruk dalam tata kelola sumber daya alam sebagai eksklusifitas tambang dalam kawasan hutan. Hal ini menunjukan lemahnya implementasi transparansi sumber daya alam dalam tata kelola perizinan tambang sebagai potret asimetris informasi.” tegas Anggi Putra.
Sagea Diancam Tambang
Sejak pertengahan Januari 2010, Sagea mulai diincar tambang. Mulai dari PT First Pasific Mining (FPM) dan PT Zhong Hai Rare Metal Mining Indonesia, yang keduanya diberi izin bupati Halmahera Tengah hingga 2014 untuk FPM dan hingga 2030 untuk Zhong Hai.
Tak hanya tambang nikel, sejak tahun 2019, ada rencana eksplorasi PT Gamping Indonesia, yang ingin membongkar cadangan karst di Sagea. Namun rencana ini ditolak oleh warga.
Selain itu, dalam dokumen perencanaan kementerian ATR/BPN terkait RDTR Kawasan Industri Teluk Weda, akan dijadikan wilayah pemukiman dan pertanian. Rencananya kawasan ini akan dibangun rumah susun untuk tempat tinggal para pekerja PT IWIP.
“Kerusakan lingkungan, akibat aktivitas tambang dan pembabatan hutan, meluas puluhan kilo meter, hingga kampung Sagea, yang jaraknya dari operasi IWIP sekitar 10 km,” ungkap Kepala Divisi Advokasi dan Hukum Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Muh Jamil.
Jelang peringatan 5 tahun Operasi IWIP, Jamil menambahkan pertengahan Agustus lalu, sungai Sagea menguning dan tercemar karena hulunya telah ditambang oleh PT Weda Bay Nikel yang menyuplai bahan mentah ke smelter-smelter IWIP.
Sementara Deddy Arif, Pegiat Geowisata mengaku yang dibutuhkan saat ini pembentukan tim investigasi independen yang bergerak secara objektif dan saintis.
Tim investigasi tersebut nantinya harus melibatkan seluruh kalangan seperti pegiat lingkungan, warga asli Desa Sagea, pemerintah pusat dan daerah, pemerhati geowisata, serta peneliti dari berbagai lembaga. Sebab, sejauh ini belum terdapat data terkait kualitas air Sungai Sagea.
“Satu keyakinan yang kita gunakan adalah dengan sedimentasi setebal saat ini di Sungai Sagea, tidak akan mungkin hanya gara-gara faktor lain yang berkembang dari dalam. Kalau melihat dari warna, ketebalan material dalam sedimen, bisa dipastikan ada aktivitas penambangan,” ucapnya.
“Bahkan saya agak pesimis untuk mengembalikan Sungai Sagea seperti kondisi sebelum tercemar, karena sampai saat ini ia belum pernah mendapatkan satu sungai di konsesi tambang yang bisa kembali pulih seperti harapan kita bersama,” tutupnya.
Reporter: Darman Lasaidi
Editor: Susi H Bangsa