Mahasiswa di Ternate Demo Tolak KUHP Karena Langgar HAM dan Ancam Demokrasi

Massa aksi saat membacakan tuntutan aksi pada Kamis (15/12/2022). Foto: Panji Jafar/LPM Aspirasi.

LPM Aspirasi -- Puluhan mahasiswa di Kota Ternate menggelar demonstrasi tolak Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Kamis (15/12/2022) kemarin di depan kantor Walikota Ternate, Jalan Pahlawan Revolusi, Muhajirin, Ternate Tengah. 

Massa yang mengatasnamakan Komite Mahasiswa Bersatu (KMB) itu mengusung tagar #SemuaBisaKena dan #TibatibaDipenjara. Mereka menilai KUHP melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan menutup ruang demokrasi rakyat. Aturan yang disahkan pada 6 Desember lalu itu bisa mematikan gerakan rakyat yang melawan kapitalisme dan rezim oligarki.

Aksi dimulai sekira pukul 15.00 WIT. Massa aksi lakukan orasi dan gelar mimbar rakyat yang diisi dengan pembacaan puisi dan nyanyian lagu-lagu. Mereka mengkritik pemerintah atas disahkannya KUHP.

Rahmat Rajak, Koordinator aksi mengatakan mereka sedang berusaha mempublikasi isu. Tujuannya agar dapat memobilisasi gelombang massa besar untuk tolak KUHP. Pasalnya dalam pembentukannya tidak transparan dan partisipatif, terutama dalam pelibatan publik.

“Melalui Pasal-pasal kontroversi di dalamnya, gerakan rakyat akan dengan mudah dikriminalisasi, dibubarkan, dan direpresi hanya dengan alasan mewujudkan keamanan negara dan melindungi ideologi negara,” ujarnya.

Menurutnya, ini bisa saja mengulang kembali kediktatoran Orde Baru dalam menggunakan ideologi negara. Aturan baru ini memungkinkan jadi alat untuk melegitimasi kepentingan kekuasaan. Padahal, ideologi negara yang terwujud dalam Pancasila hakikatnya hasil dari kristalisasi proses kehidupan dan perjuangan bangsa yang panjang.

“UU ini bisa jadi alat paling ampuh untuk mengkriminalisasi dan menekan gerakan rakyat yang menentang kepentingan kekuasaan,” tuturnya.

Anton, salah satu massa aksi berujar, pasal-pasal macam 188 dan 189 bermasalah karena membatasi alat analisis gerakan rakyat dalam melihat dan membongkar problem kapitalisme serta kekuatan oligarki. Apalagi sekarang begitu masif merugikan rakyat dan merusak lingkungan dengan dalih “atas nama pembangunan”. 

“Ini berarti rakyat dipaksa untuk menerima tanpa proses kritis apa yang terjadi pada mereka,” pungkasnya.

Selain itu, gerakan rakyat yang anti-kapitalisme tidak dapat bergerak. Gerakan rakyat akan ditutup. Mereka ditentang untuk berikan pendidikan publik, memproduksi pengetahuan, menyatakan kritik dan perlawanan, hingga bersolidaritas bersama jaringan gerakan anti-kapitalisme global. 

Dia bilang para aktivis yang dianggap membahayakan kekuasaan dan menghalangi agenda neoliberal serta kapitalisme pun akan dengan mudah ditangkap. Mereka akan mudah dimasukkan ke penjara seperti yang melawan kolonialisme dan Orde Baru dahulu.

“Alhasil, sejarah kelam gerakan rakyat akan terulang kembali,” jelas Anton.

Kata Anton, negara juga batasi ekspresi perlawanan dengan mengatur demonstrasi sebagaimana pasal 256. Apalagi didukung pasal 240 dan 241 yang atur soal penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara. 

“Penempatan kepentingan umum sebagai dalih dari pembentukan pasal 256 justru menjadi bukti kesemena-menaan kekuasaan untuk bertindak tidak adil terhadap suara kritik dan kontra terhadap mereka,” terang mahasiswa salah satu kampus di Ternate itu.

Anton nilai banyak pasal multitafsir dan dapat dengan mudah digunakan untuk menjebak mereka yang mengorganisir diri dalam kelompok-kelompok perlawanan.  Adanya definisi “penghinaan” oleh kekuasaan, pemerintah dan lembaga negara yang anti kritik akan semakin nyaman untuk memuluskan agenda dan kepentingan kelompoknya.

“Sementara rakyat dibungkam sedemikian rupa, dalam isu lingkungan KUHP malah jadi aturan yang meringankan hukuman, bahkan melindungi korporasi perusak lingkungan juga,” tandas Anton.


Reporter: Susi H Bangsa

Editor: Darman Lasaidi

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama