Mengurai Catatan Panjang Kekerasan Terhadap Orang Papua Sejak Trikora

 

Suasana dialog publik di taman Soe Hook Gie, Fakultas Ilmu Budaya, Unkhair Ternate (20/12/2023) Foto: Sukriyanto Safar/LPM Aspirasi.


LPM Aspirasi -- Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Ternate dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) Wilayah Maluku Utara mengelar dialog publik. Agenda ini dilaksanakan pada, Rabu (20/12/2023) di taman Soe Hook Gie, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Khairun (Unkhair) Ternate.

Mereka mengusung tajuk “Senasib Sepenanggungan, 62 Tahun Trikora Menjadi Awal Agresi Militer dan Kolonialisme Indonesia di atas Tanah Papua”. Diskusi ini dalam rangka memperingati 62 tahun peristiwa Tiga Komando Rakyat (Trikora).

Turut hadir sebagai pembicara, Nabo, perwakilan Aliansi Mahasiswa Papua, El Dino, dari organisasi Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrat (LMID) dan Nando, dari Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (Pembebasan).

Nabo, menjelaskan agresi militer di Papua sudah berlangsung lama. Pada 1 desember 1961 rakyat Papua mengibarkan bendera bintang kejora dan mendeklarasikan kemerdekaan.

“Situasi itu memicu reaksi Soekarno yang kemudian mencetuskan operasi trikora 19 desember 1961 di Alun-alun Yogyakarta,” ungkapnya.

Sejak saat itu, agresi militer terus berlanjut hingga hari ini. Soekarno kala itu menilai Papua Barat sebagai negara boneka buatan belanda. Akhirnya mencetuskan trikora.

Nabo bilang, setelah dicetuskan Trikora, Soekarno membentuk operasi komando mandala 1962, dipimpin jendral Soeharto dan sukses dijalankan.

Lalu pada 15 agustus 1962 diadakan perundingan di markas PBB, New York. Dalam perundingan itu status wilayah Papua diserahkan kepada PBB (UNTEA). Kemudian pada 1 mei 1963 wilayah Papua secara resmi di serahkan kepada Indonesia.

“Bagi Indonesia ini adalah kemenangan namun bagi rakyat Papua, merupakan awal pemusnahan bagi tanah dan rakyat Papua,” tegasnya.

Paska Soekarno tumbang, Soeharto melanjutkan operasi militer di Papua. Banyak operasi militer yang menewaskan orang asli Papua. Apalagi paska Pepera digelar. Papua ditetapkan jadi daerah operasi militer.

“Banyak operasi militer terjadi, dan orang Papua di intimidasi, disiksa, diteror bahkan dibunuh setiap harinya karena menolak hasil pepera yang tidak sesuai dengan mekanisme PBB,“ tegasnya.

Dalam laporan Lao-Lao Papua, peristiwa paling pahit dirasakan rakyat Papua terjadi di tahun 1974-1975 yakni pembunuhan massal di Biak, dengan jumlah korban yang diketahui sebanyak 207 orang dan masih banyak lagi yang belum sempat didata secara mendetail. kemudian di tahun 1977 di Wilayah Wamena, terutama lembah balim dengan korban di perkirakan hampir 3000 jiwa dari suku Dani.

Mereduksi kekerasan di Papua

“situasi papua hari ini sangat kejam
Banyak rayat yang di bunuh, banyak perempuan di perkosa, anak anak kecil di bunuh sehingga pelanggaran Ham makin naik dan tidak di selesaikan oleh negara,” ungkap El Dino, pembicara kedua dalam diskusi itu.

Dia menambahkan, sejak berakhirnya Undang-undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus di Papua atau secara khusus aliran anggaran dua persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang kita kenal sebagai Dana Otonomi Khusus (Otsus) pada 2020 mulai dirasakan.

“Perang” informasi dan propaganda kegagalan serta keberhasilan Otsus mulai dilakukan. Baik oleh kelompok masyarakat sipil yang menamakan diri Petisi Rakyat Papua (PRP) maupun oleh pemerintah Indonesia, ditingkat instansi dan kementrian terkait, dan juga dukungan para buzzer yang melakukan kampanye ilegal mereka di media sosial.

“Namun kegagalan maupun keberhasilan yang harus di lihat dari latarbelakang lahirnya UU tersebut dan tujuan besarnya bagi Papua,” ucapnya.

Hal pertama yang harus dilihat ialah kelahiran Otsus Papua bertujuan untuk mereduksi aksi-aksi kemerdekaan di awal reformasi, selanjutnya Otsus Papua menawarkan rekonsiliasi konflik berkepanjangan di Papua, dan berikutnya adalah kesejahteraan.

“Ukuran itulah yang harus dilihat setelah 20 tahun implementasinya,” tandas El Nino.

Menurut El Nino, hal yang paling utama inisiatif lahirnya Otsus Papua karena adanya kejahatan negara dengan aneksasi dan pembunuhan, pembantaian massal (pelanggaran HAM) yang tidak pernah berhenti Sejak 1961-2000.

“Bahkan jika kita telusuri Kejahatan atas kemanusian oleh negara itu tidak pernah berhenti hingga detik-detik berakhirnya Otsus Papua di 2021,” tambahnya.

Kekerasan Paska Reformasi, dan Opsi Lain Solusi di Papua

Nando menguraikan situasi akhir-akhir ini di Papua semakin darurat. Pasalnya Indonesia secara masif melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam Papua melalui berbagai izin usaha yang legal maupun illegal.

“Tujuan utamanya untuk meloloskan dan mengamankan kepentingan pemodal atau kapitalis,” tandasnya.

Sehingga rezim Jokowi-Maaruf mengesahkan regulasi undang-undang otsus jilid II  serta turunannya DOB sebagai landasan untuk membuka daerah-daerah baru untuk di eksploitasi. 

Untuk mendukung itu, Nando juga meyebut pemerintah membuat penunjang seperti jalan, jembatan, pelabuhan, dan bandara dengan dalil Pembangunan demi kepentingan rakyat Papua. 

“Nyatanya semua ini hanyalah demi kelancaran investasi dan ekploitasi untuk menguras habis kekayaan alam Papua dan memenuhi kantong-kantong kapitalis," ketusnya.

Persoalan ini juga di yakini dapat memuluskan operasi-operasi militer di tanah Papua. Jika demikian ini berpotensi meningkatkan eskalasi kekerasan, dan pelanggaran lainnya.

Menurut Nando Kejahatan kemanusian dengan pelanggaran hak-hak politik, hak asasi manusia di Papua adalah catatan kelam, dan telah menjadi ingatan kolektif (memoriam passions) bagi rakyat Papua secara turun temurun. Ingatan kolektif inilah yang menjadi pemicu ketidakstabilan di Papua. 

Otsus jilid II Papua sebenarnya diharapkan dapat menyelesaikan setiap persoalan satu persatu, baik melalui badan-badan rekonsiliasi HAM, seperti pengadilan HAM misalnya, atau Proteksi Orang Asli Papua melalui Majelis Rakyat Papua (MRP), atau Politik melalui kehadiran Partai Politik Lokal sebagai representasi OAP dibidang legislasi. Semua itu bertujuan untuk kesejahteraan rakyat asli Papua. 

“Faktanya semua itu tidak pernah terjadi selama 20 tahun terakhir dalam periode otsus pertama!, sehingga situasi ini akan berlanjut pada jilid II,” tegas Nando.

Negara melalui pemerintahannya, presiden berganti presidennya, secara terus menerus mengabaikan hak-hak orang asli Papua. Sebaliknya melakukan pelanggaran HAM secara terus menerus.

Di era reformasi, yang diyakini sebagai tonggak kebebasan berpendapat, Kata Nando, justru tidak hadir di Papua. Rakyat Papua yang melakukan aksi-aksi damai menuntut kemerdekaan terus di represif dengan kekerasan. Mulai dari Biak pada 6 juli 1998, sorong 5 juli 1999, dan Timika 2 desember 1999.

Peristiwa Biak menewaskan 43 orang penduduk serta proses penangkapan dan penahanan terhadap 150 orang, satu diantaranya bapak Filep Karma yang kemudian dikeluarkan dari tahanan politik pada 2015.

Memasuki era 2000 sampai 2001 peristiwa berdarah pecah diberbagai daerah di Papua seperti Merauke, Nabire, Fak-fak, Wamena, Jayapura-Abepura serta Wasior dan Sorong, boswesen berdarah (2001).

Tidak hanya itu, militer melancarkan penculikan dan pembunuhan berencana terhadap dewan presidium Papua, Theys Hiyo Eluay dan Aristoteles Masoka hingga tewas pada 10 November 2001 sebagai tumbal dari Otsus Papua. Kekerasan terus berlanjut dengan berbagai peristiwa yang tidak bisa disebut secara menyeluruh.

“Pembunuhan penyiksaan pemerkosaan dan penghilangan nyawa rakyat Papua secara paksa, massif dilakukan hingga hari ini,” ungkap mahasiswa salah satu kampus di Ternate itu.

Kekerasan terhadap orang Papua terus berlanjut, bahkan Rasisme juga dilancarkan terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang pada tahun 2019 menambah catatan kekerasan terhadap orang Papua.

Tak hanya itu, orang Indonesia yang menyuarakan persoalan di Papua kerap mendapat intimidasi, kekerasan hingga penangkapan. Seperti kasus Surya Anta. Termaksud 4 mahasiswa Unkhair Ternate yang di drop out dari kampus karena menyuarakan kasus rasisme pada tahun 2019. 

“Catatan-catatan itu, mengisaratkan selama 20 tahun implementasi Otsus nihil pencapaian, selain dua persen anggaran Otsus berhasil memperkaya borjuis dan oligarki di Papua,” kata dia.

Hal ini menjadi wajar jika otsus jilid II kemarin ditolak oleh orang Papua, namun sayangnya dipaksakan oleh pemerintah.

Padahal negara, menurut dia, harus berani mengambil opsi lain selain Otsus, misalnya yang telah menjadi aspirasi rakyat sejak awal aneksasi yaitu Penentuan Nasib sendiri melalui mekanisme Referendum atau kongkritnya dapat melalui pengakuan kedaulatan Papua melalu deklarasi 1 Desember 1961 yang dirusak Soekarno melalui Trikora.

Reporter: Sukriyanto Safar
Editor: Darman Lasaidi

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama